HANNA AZARYA, CNN INDONESIA LAPORANYA MEMBANGKITKAN KENANGAN UDIN

 

 

images (7)Laporan Hanna Azarya Samosir, dari CNN Indonesia Rabu, 13/01/2016 16:57 WIB,secara komplit tanpa ada satu kata-pun yang di kurangi layak untuk di jadikan barometer kinerja jurnalis ndonesia dengan judul Kisah dari Filipina, negara berbahaya bagi jurnalis dalam upaya menyampaikan berita yang benar-benar nyata tanpa adanya upaya memihak maupun tendensi dari pihak luar yang menjadikan nilai pemberitaannya keliru, berkurang, salah, atau bahkan penuh rekayasa.

 

Sisi kelam kehidupan nyata jurnalis Filipina yang selalu hidup dengan berbagai ancaman dalam tugas jurnalisnya seperti yang pernah terjadi pada pahlawan jurnalis Udin dari Bernas ( Udin kerap menulis artikel kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Ia menjadi wartawan di Bernas sejak 1986 ) cukup untuk di jadikan pedoman jurnalis Indonesia untuk tidak takut memberitakan yang sebenarnya yang juga dapat di maksutkan untuk menepis anggapan sebagian masyarakat yang memang tidak bisa di pungkiri di manfaatkan oknum wartawan nakal yang hanya memanfaatkan berita untuk kepentingan sendiri seperti yang santer terjadi beberapa oknum wartawan nakal memeras obyek berita.

 

Laporan dari Filipina..Kisah dari Filipina, Negara Berbahaya bagi Jurnalis

Jakarta, CNN Indonesia 

“Saya melihat rekan-rekan saya terkapar di tanah, tewas bersimbah darah. Bulu kuduk saya berdiri, air mata saya mengucur. Saya terpukul dan saat itu saya tahu bahwa tidak ada jurnalis yang aman di sini,” kata Marconi Navales kepada CNN Indonesia dalam perjalanan menuju Mindanao, Filipina Selatan, tempat di mana konflik terus berkecamuk.

Senyum yang selalu ada di wajah jurnalis senior ini seketika sirna ketika bercerita tentang pembantaian di Maguindanao tersebut. Tragedi yang disebut-sebut sebagai salah satu pembantaian jurnalis terbesar sepanjang sejarah.

Di depan dadanya yang bidang, ia melipat tangannya dan melemparkan pandangan ke jendela pesawat.

“Gelap sekali,” katanya. “Dan hari itu juga sangat kelam bagi saya. Bayangkan, 34 jurnalis yang saya kenal bergelimpangan di depan saya. Saya adalah fotografer pertama yang datang ke lokasi itu,” ujar Mark.

 

Jurnalis lepas tersebut kembali bergidik ketika mengingat bahwa sebenarnya ia juga bisa menjadi korban.

“Ada seseorang yang mengundang saya untuk ke sana juga sebelumnya. Namun, saya tahu bahwa situasi politik di Mindanao sedang kacau dan saya menolak,” kata Mark.

Kala itu, November 2009, politik di daerah Maguindanao memang sedang panas menjelang pemilihan umum gubernur. Dua kandidat gubernur, Esmael ‘Toto’ Mangududatu dan Andal Ampatuan, Jr., berseteru.

 

Toto mengaku menerima laporan bahwa Ampatuan akan menghabisi nyawanya jika ia benar-benar mengajukan surat pencalonan diri ke Komisi Pemilihan Umum.

“Saat itu, Toto merasa akan aman jika ada jurnalis di sana. Ampatuan tidak akan berani macam-macam. Maka, ia mengundang jurnalis,” ujar Mark sambil menegakkan posisi duduknya.

Toto yang kala itu menjabat sebagai Wakil Wali Kota Buluan mengumpulkan 37 jurnalis dan para kerabat di kantornya untuk kemudian melakukan konvoi menggunakan enam mobil menuju Komisi Pemilihan Umum.

Tepat pukul 17.00 mereka tancap gas. Namun, sekitar 10 kilometer dari tempat tujuan, konvoi dihadang oleh sekitar 100 orang bersenjata. Menurut pesan singkat kepada suaminya, istri Toto mengatakan bahwa orang yang menghalau mereka adalah pihak kepercayaan Ampatuan, Jr.

Komplotan itu menculik semua rombongan dan membunuh mereka dengan kejam. Mereka lantas menggali kubur untuk jasad para korban termasuk kendaraannya menggunakan ekskavator berlabel nama Gubernur Maguindanao, Andal Ampatuan, Sr., ayah dari Ampatuan, Jr.

“Saya adalah jurnalis foto pertama yang tiba di lokasi. Meskipun gemetar saya harus memberitakannya, kematian teman-teman saya sendiri,” kata Mark dengan suara lirih sambil menunjukkan bulu kuduknya yang masih berdiri.

 

Jurnalis mengais rezeki dari politisi

Menurut Mark, para jurnalis yang menjadi korban mendapat bayaran untuk memberitakan pencalonan diri Toto. Hal tersebut, kata Mark, sudah biasa terjadi di Filipina.

“Anda mendapat bayaran untuk memberitakan satu politisi atau memberitakan buruk tentang lawannya. Sementara itu, politisi lawan juga bisa saja menawarkan uang lebih besar dan politisi sebelumnya tahu itu dan membunuhmu,” papar Mark.

Namun, Mark tak menyalahkan rekan-rekannya karena mendapatkan bayaran. “Kehidupan jurnalis di Filipina sangat sulit. Pendapatan besar mereka dari politisi itu, demi sesuap nasi untuk keluarga mereka,” katanya.

Mark bisa dikatakan memiliki nasib lebih mujur. Ia memiliki banyak keahlian yang dapat diuangkan. Di sela kesibukannya, Mark membuka layanan les fotografi.

“Saya tidak mau politisi mengatur hidup saya dan dapat mengambil hidup saya kapan pun. Saya tetap menjalin hubungan baik, tapi saya tidak akan menerima bayaran dari mereka. Saya masih bisa menghidupi keluarga saya walaupun seadanya,” ucap Mark, kemudian menaruh telunjuk di ujung bibirnya.

Meskipun sudah menjaga jarak aman, hidup Mark tetap saja dipenuhi ancaman.

Sebagai jurnalis pertama yang tiba di lokasi pembantaian Maguindanao, Mark tentu menjadi bidikan para pihak terkait. Tak lama setelah insiden tersebut, Mark menerima pesan singkat dari orang tak dikenal berbunyi, “Anda bisa bernasib sama dengan jurnalis di Pembantaian Maguindanao.”

Saat itulah, Mark tahu bahwa hidupnya akan terus berada di bawah bayang teror. “Begitulah kehidupan sebagai jurnalis di Mindanao. Saya memutuskan bahwa saya harus memiliki senjata dan berlatih untuk melindungi diri sendiri,” kata dia.

Ancaman, alasan jurnalis Filipina bawa senjata
Rencana untuk memiliki senjata sebenarnya sudah lama bertengger di pikiran Mark. Pasalnya, sebelumnya Mark sudah menerima dua ancaman serius akibat pekerjaannya sebagai jurnalis di Mindanao, bahkan di tahun-tahun awalnya terjun ke dunia media.

Sekitar tahun 2000-2001, dua orang tak dikenal datang ke rumah ibu Mark di Cotabato, tempat keluarga besarnya sering berkumpul. Saat itu, Mark sedang tidak ada di tempat sehingga tamu tak diundang itu diterima oleh seorang asisten rumah tangga.

“Mereka berkata, ‘Beri tahu bosmu bahwa hidupnya hanya tinggal tiga hari. Kami akan membunuh dia.’ Pembantu saya memberi tahu saya dan saya takut pada saat itu,” kata Mark.

Takut, Mark akhirnya meminta bantuan teman baiknya, seorang anggota tim intelijen kelompok separatis Moro Islamic Liberation Front (MILF). Dua minggu berlalu, teman Mark berhasil melacak identitas pengancam tersebut, seorang anggota muda MILF.

 

“Teman saya akhirnya berkata, ‘Saya akan membunuh orang itu, oke?’ Lalu saya jawab, ‘Ya. Tidak masalah.’ Teman saya kemudian memastikan, ‘Jangan berubah pikiran karena jika kamu sudah bilang ya, saya akan membunuh orang itu,'” tutur Mark.

Malam itu juga, Mark mengikuti jejak temannya menuju satu ruas jalan gelap di Cotabato. Dari kejauhan, Mark melihat sang pengancam berdiri membawa pistol di pinggangnya.

Dengan senapan di tangan, teman Mark berjalan ke arah orang itu. Diiringi degup jantung kencang, Mark ikut melangkah di belakangnya.

Saat sampai di depan hadapan orang itu, teman Mark langsung mengeluarkan senjatanya dan menodongkannya tepat di dahi sang pengancam.

“Tunggu, tunggu! Saya ingin bicara dengannya!” teriak Mark memecah ketegangan.

Dengan mata terbelalak, teman Mark berkata, “Ada apa? Saya akan membunuhnya.”

Sambil menenangkan, Mark akhirnya berimbuh, “Saya mohon. Saya hanya ingin bicara dengan dia.”

Saat itu, Mark menyadari bahwa orang itu ketakutan setengah mati. Pundaknya gemetar dan air seni membasahi celananya.

Orang itu akhirnya mengaku tak serius dengan ancaman yang dilontarkan. Ia hanya tidak suka dengan pemberitaan Mark yang menguak kasus pembunuhan dan penyelundupan amunisi oleh MILF.

“Saya bilang, ‘Ya, itu memang berita saya, tapi saya memberitakannya berdasarkan laporan polisi dan Angkatan Laut. Saya tidak membuat-buat berita,” tutur Mark.

Melihat pengancam yang ketakutan, Mark merasa iba. Ia akhirnya memutuskan untuk melunakkan hati temannya yang sudah siap membunuh orang.

“Tidak usah dibunuh karena saya orang Kristen, ampuni saja dia,” ucap Mark.

Temannya sempat marah karena dengan membatalkan pembunuhan, dan kini nyawanya yang menjadi taruhan.

“Jangan lakukan itu lagi karena orang itu bisa saja memberi tahu teman-temannya bahwa saya menodongkan senjata, mereka mungkin akan balas dendam,” kata temannya seperti ditirukan Mark.

 

Waktu berselang, kehidupan Mark kembali tegang. Seorang tak dikenal mengirimkan pesan singkat berisi, “Jangan khawatir, saya akan membunuhmu. Jika bukan kamu, saya akan membunuh anakmu atau istrimu. Atau mungkin saya akan melemparkan granat ke rumahmu.”

Meskipun tak jelas, Mark selalu menganggap serius semua ancaman. Di Mindanao, kata Mark, semua bisa terjadi.

“Jangan-jangan ketika sedang bersantai, orang itu tiba-tiba datang. Saya harus selalu siap,” kata Mark.

Guna mengasah keahliannya menggunakan senjata, Mark mengikuti pelatihan resmi dan mendapatkan izin menembak. Ia juga rajin mengikuti kompetisi menembak, selain untuk menambah pendapatan juga.

“Saya juga sesekali berburu ke atas gunung. Berburu burung, tapi harus dimakan. Jangan sia-siakan nyawa burung itu,” kata Mark.

Jurnalis yang pernah bekerja di Arab Saudi ini juga sering mengajak anak-anaknya berburu. Kini, tiga puteri dan satu puteranya sudah terbiasa melihat ayahnya menenteng senjata.

“Saya selalu mengajarkan kepada anak saya bahwa senjata ini bukan mainan dan berbahaya. Jangan gunakan ini untuk mainan. Anak saya tahu itu. Anda harus mengajarkan kepada mereka,” kata Mark sambil sesekali mengacungkan telunjuk.

 

Mark juga tak ingin anaknya melihat sosok ayah sebagai orang yang memamerkan senjata. Ia selalu menekankan bahwa senjata hanya untuk perlindungan diri dan semua jurnalis harus tahu cara tepat penggunaannya.

“Pertama, harus ada izin. Kedua, jangan hanya untuk bergaya atau menakuti orang. Jika benar-benar terjadi, apakah kamu bisa menembak tepat sasaran? Jika ada warga sipil di sekitar, jurnalis harus memikirkan keselamatan mereka juga. Jangan asal,” ujar Mark menegaskan.

Jurnalis memiliki senjata bukan pemandangan aneh di Mindanao. Kekacauan konflik internal di Filipina memang membuat kehidupan jurnalis selalu di ambang kematian.

Menurut data Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ), Filipina termasuk dalam jajaran teratas negara berbahaya bagi wartawan. Sejak 1992, 77 jurnalis tewas di Filipina, hanya terpaut tipis dari Suriah dengan 80 jiwa dan Irak yang mencapai 166 orang.

“Filipina memang bukan zona konflik. Namun, jumlah orang yang tewas mendekati negara-negara berbahaya karena konflik internal,” kata wakil direktur Asia dari Human Rights Watch (HRW), Phelim Kine, seperti dikutip CNN.

Masih banyak jurnalis lain yang berpikiran bahwa untuk menjadi pewarta di Filipina, tak cukup bermodalkan otak dan pena, tapi juga senjata. Ali Macabalang salah satunya.

Wartawan senior dari Manila Bulletin ini seharusnya menjadi pemimpin rombongan dalam kasus di Maguindanao. Beruntung, ia harus pergi ke Manila sehingga tak dapat datang kala itu.

Namun selama empat dekade menjadi jurnalis, sudah dua kali Ali mendapatkan ancaman serius hingga mempertaruhkan nyawa. Timah panas para politisi pun pernah meninggalkan jejak di wajah dan tengkuk Ali.

 

Tahun 1995, Ali yang masih bekerja di salah satu media paling kritis di Filipina, The Inquierer, mengekspos masalah penebangan hutan liar. Salah satu sosok penentang kasus tersebut tewas terbunuh.

“Saya mengekspos masalah itu dan semua pejabat marah. Tentu saya langsung menjadi target mereka,” kata Ali sambil tersenyum, menonjolkan semua kerut di wajahnya.

 

Saat Ali sedang menempuh perjalanan pulang dari kantornya, ia mengetahui ada empat orang membuntutinya. Namun karena jalan sedang ramai saat itu, hanya satu orang yang menyambanginya.

“Bang! Bang! Dia menembakkan delapan peluru, tapi hanya satu yang mengenai tengkuk saya,” ujar Ali.

Jurnalis yang sering menyumbangkan buah pikirnya untuk Reuters ini menyadari bahwa ia hidup sangat dekat dengan ancaman. Pasalnya, tempat tinggalnya berada di lingkungan para pihak yang sering ia kritik, mulai dari wali kota, gubernur, hingga anggota Kongres.

Situasi itu menjadi alasan Ali membawa senjatanya setiap waktu. “Itu merupakan hal biasa di sini karena semua jurnalis di Mindanao menghadapi ancaman semacam itu,” katanya.

( jt-CNN Indonesia )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.